Kenikmatan
ibadah merupakan buah dari keimanan yang menancap kuat dalam diri seorang hamba
lalu dibuktikannya dengan melaksanakan ibadah dan beramal shalih. Maka dalam
ibadah dan amal shalih yang didasari iman dan muncul dari keimanan yang bisa
melahirkan kenikmatan dan kelezatan serta kebahagiaan.
Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda berkaitan dengan kenikmatan
ibadah ini,
ذَاقَ
طَعْم الْإِيمَان مَنْ رَضِيَ بِاَللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا
وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُولًا
“Pasti
akan merasakan manisnya iman orang yang ridla Allah sebagai Rabb, Islam sebagai
dien/aturan hidup, dan Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sebagai
rasul.” (HR. Muslim dari al Abbas bin Abdil Muthalib).
Kenikmatan
ibadah merupakan buah dari keimanan yang menancap kuat dalam diri seorang hamba
lalu dibuktikannya dengan melaksanakan ibadah dan beramal shalih.
Menurut
Ibnul Qayyim rahimahullah, kalau tiga keridlaan ini ada dalam diri
seseorang maka dia menjadi orang yang benar-benar jujur dalam beriman. Hal ini
sesuai dengan firman Allah,
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ
الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu lagi, dan mereka berjihad dengan
harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.”
(QS. al Hujurat: 15)
Dalam
Shahihain, dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda, “tiga hal yang terdapat dalam diri seseorang, maka ia
akan merasakan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain
keduanya, tidaklah ia mencintai seseorang kecuali karena Allah, dan ia benci
kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya sebagaimana ia benci
untuk dilemparkan ke dalam neraka.”
Dalam
riwayat Imam Ahmad, dari Abu Razin al ‘Uqaili rahimahullah, “apabila
kamu seperti itu maka benar-benar iman sudah masuk ke dalam hatimu sebagaimana
masuknya kecintaan kepada air bagi orang yang kehausan di tengah hari yang
terik.”
Makna
manisnya iman adalah nikmatnya melaksanakan ketaatan dan menanggung beban berat
dalam melaksanakan sesuatu yang diridlai Allah an Rasul-Nya serta
mengutamakan hal tersebut atas tawaran dunia.
Makna
manisnya iman adalah nikmatnya melaksanakan ketaatan dan menanggung beban berat
dalam melaksanakan sesuatu yang diridlai Allah 'Azza wa Jala dan
Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam serta mengutamakan hal tersebut
atas tawaran dunia.
Ibnul
Qayim bercerita tentang gurunya, Ibnu Taimiyah: “sungguh aku pernah mendengar
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “sesungguhnya di dalam dunia ada sebuah
surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya, maka ia tidak akan bisa memasuki
surga akhirat.”
sesungguhnya
di dalam dunia ada sebuah surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya, maka ia tidak
akan bisa memasuki surga akhirat.” Ibnu Taimiyah
Pada
suatu hari ia juga bercerita kepadaku, “apa yang yang akan dilakukan oleh
musuh-musuhku terhadapku? Sesungguhnya surgaku dan tamanku ada di dalam dadaku.
Kemanapun aku pergi ia selalu bersamaku. Sungguh penjaraku adalah khalwat
(menyepi)ku bersama Allah, kematianku adalah kesyahidan, dan pengusiran diriku
dari negeriku adalah tamasya.”
Dalam
penjaranya di sebuah benteng, Ibnu Taimiyah berkata, “jika benteng bersama
isinya ini diganti dengan emas, tentu itu tidak imbang dengan nilai syukurku
kepada Allah atas nikmat ini.” Atau dengan ungkapan lain, pahala kebaikan dari
ibadah yang dilakukannya di dalam benteng penjaranya tidak bisa diukur dengan
banyaknya kemewahan dunia.
Dalam
sujud di tempat penjaranya, beliau berdoa, “Ya Allah mudahkanlah diriku untuk
berdzikir kepadamu, bersyukur kepada-Mu, dan memperbagus ibadah kepada-Mu.”
Kemudian beliau berkata kepadaku, “penjara adalah untuk orang yang ingin
memenjarakan hatinya hanya buntuk Allah, sedangkan istana adalah untuk orang
yang ingin mengumbar nafsunya.”
Ketika
Ibnu Taimiyaha sudah ke dalam benteng penjara dan ia melihar pagar tembok
tinggi yang memagarinya, maka ia membaca ayat Al Qur’an,
فَضُرِبَ
بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ
قِبَلِهِ الْعَذَابُ
“lalu
diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di bagian dalamnya ada
rahmat dan di bagian luarnya ada adzab.” (QS. Al Hadid: 13)
Demi
ilmu Allah, dan aku tidak melihat seseorang pun yang hidupnya lebih bahagia
daripada Ibnu Taimiyah, walaupun ia berada pada sempitnya penghidupan, tiadanya
kesejahteraan dan kenikmatan. Justru aku melihat kebalikannya. Memang ia berada
dalam penjara, intimidasi dan siksaan, namun ia adalah manusia yang paling
bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling kuat hatinya dan paling tenang
jiwanya sampai kebahagiaan dan kedamaiannya memancarkan cahaya di wajahnya.
Demi
ilmu Allah, dan aku tidak melihat seseorang pun yang hidupnya lebih bahagia
daripada Ibnu Taimiyah, walaupun ia berada pada sempitnya penghidupan, tiadanya
kesejahteraan dan kenikmatan.
Jika
kami dihantui ketakutan dan dihimpit urusan dunia, maka kami datang kepadanya.
Tatkala kami melihatnya dan mendengarnya petuahnya, maka hilanglah segala
ketakutan dan kehinaan. Setelah itu kami menjadi bahagia, kuat, yakin, dan
tenang. Mahasuci Allah yang telah menunjukkan surga kepada hamba-hamba-Nya
sebelum mereka bertemu dengan-Nya. Maha Suci Allah yang telah membukakan
pintu-pintu surga di dunia sehingga mereka merasakan kedamaian, kebahagiaan,
dan kebaikan selama mereka terus berusaha dan berlomba-lomba untuk
mendapatkannya.” (Al Wabilush Shayyib, karya Ibnul Qayim, hal. 63)
Sebagian
ulama mengatakan, “orang miskin di dunia yang sebenarnya adalah orang yang meninggalkan
dunia, sementara mereka belum pernah merasakan yang paling indah di dalamnya,
yaitu cinta kepada Allah dan beribadah kepada-Nya.”
Orang
miskin di dunia adalah orang yang belum pernah merasakan cinta kepada Allah dan
nikmatnya beribadah kepada-Nya.
Orang-orang
shaleh merasakan kebahagiaan hidup dengan shalat, ibadah dan dzikir malam.
Karena itu ada ada salah seorang dari mereka sampai mengatakan, “selama empat
puluh tahun aku tidak meras sedih melainkan sedih atas datangnya waktu siang.”
Al
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “ketika matahari terbenam, aku akan
menjadi bahagia. Karena dalam kegelapan malam aku bermunajat kepada Allah.”
.
. . kenikmatan yang dirasakan orang-orang yang beribadah pada malam hari lebih
terasa nikmat daripada hiburan orang-orang yang berfoya-foya di siang hari. . .
Abu
Sulaiman ad Darani rahimahullah berkata, “kenikmatan yang dirasakan
orang-orang yang beribadah pada malam hari lebih terasa nikmat daripada hiburan
orang-orang yang berfoya-foya di siang hari. Jika bukan karena waktu malam,
maka aku tidak suka berlama-lama hidup di dunia.”
Oleh: Badrul Tamam