Bismillahirrahmanirrahim
Pada
dasarnya, tak ada ayat al-qur’an yang menyinggung secara jelas dan spesifik
atas metode penentuan awal bulan hijriyah. Yang ada hanyalah panduan umum untuk
menggunakan matahari dan bulan sebagai patokan dalam mengetahui perputaran
waktu (Al-‘Anam: 96, Yunus: 5, Ar-Rohman: 5). Ayat 185 surat Al-Baqoroh yang
diduga sebagai landasan penetapan awal bulan Islam (khususnya bulan Ramadlan)
sebenarnya sama sekali tidak menyinggung tentang metode penetuan awal bulan
dalam Islam, hal ini sedikitnya karena empat alasan:
Pertama:
Kata شهد dalam bahasa arab tidak mempunyai arti melihat, tetapi ada di tempat
atau tidak bepergian, dan juga mengetahui. Sementara yang mempunyai arti
melihat adalah شاهد dengan tambahan alif setelah syin.
Bisa juga kata شهد berarti mengetahui, sehingga artinya mengetahui masuknya
bulan Ramadlon.[1]
Kedua:
Kalimat selanjutnya yaitu فمن كان منكم مريضا أو على سفر menjadi
penguat atas kata شهد dengan arti hadir di tempat.[2]
Ketiga: Dan
jika saja kata شهد diartikan dengan melihat, maka puasa Ramadan hanya wajib
bagi orang yang melihat bulan saja, sedangkan yang lain tidak.[3]
Keempat:
ال dalam kata الشهر berfungsi للمعهود السابق (penyebutan
sesuatu yang telah lewat), sehingga maksud الشهر dalam ayat tersebut
bukanlah bulan muda, melainkan bulan Ramadan.[4]
Oleh karena
itu, metode penetapan awal bulan dalam Islam hanya didasarkan pada hadits Nabi
Muhammad SAW, bukan pada Al-Qur’an. Hadist-hadist shahih menetapkan bahwa dalam
menentukan awal bulan Hijriyah, khususnya bulan Ramadhan, Syawal, dan
Dzulhijjah dengan salah satu dari tiga metode: pertama melihat hilal (ru’yatul
hilal), kedua menyempurnakan bulan yang bersangkutan (ikmal), dan yang ketiga
memperkirakan “keberadaan” hilal (dengan ilmu hisab/falak). Hanya saja cara
yang terakhir ini masih dipertentangkan oleh para sarjana fiqih Islam.
mudah-mudahan bermanfaat,